KKN Story (Part 1)

“Good judgment comes from experience, and a lot of that comes from bad judgment.” — Will Rogers

Hi, it’s been a while.

Akhirnya nulis juga setelah salah fokus melipir ke folder foto. Nyortirin foto-foto pas studi banding kemarin (ntah kapan bikin post stuba). Mau melipir ke folder film tapi gue tahan. Nggak selesai-selesai ntar. Karena bagaimana pun, topik kali ini cukup krusial, berkesan, dan faedahfull dalam hidup gue sehingga harus banget dibuat postingan.Topik itu adalah…KKN.

 

So, gue menjalani KKN (Kuliah Kerja Nyata) tepat di hari pertama gue berusia 21 tahun (ultah pas KKN cuy) sampai tanggal 25 September 2017 kemarin. Selama 40 hari menjalani kehidupan baru di tempat baru, dengan suasana dan kegiatan baru, serta bersama orang-orang baru juga. Btw buat yang nggak tau KKN itu apa, KKN itu semacam tinggal bareng warga lokal di sebuah desa. Istilahnya kita ini sebagai mahasiswa mengabdi pada masyarkat. Ngelakuin program dari kita mahasiswa untuk warga atau bisa juga bantu-bantu ngelakuin program yang udah tersusun di desa yang bersangkutan. Kalau gue sih, dua-duanya. Ngejalanin program dari kampus iya, ngejalanin program dari desa juga iya.

KKN di mana Ma? Nah, gue mau cerita sejarahnya nih. Jadi pas keluar form pemilihan lokasi KKN, gue milih 3 lokasi dan itu di Jawa Tengah semua. Kenapa? Sebenernya gue cuma nggak pengen ditempatin KKN di Jawa Barat aja sih. Di mana aja oke asal nggak di Jawa Barat. Apalagi Bogor. Karena dari semester 3 sampai semester 6, pasti di departemen (jurusan) gue ada kegiatan turun lapang (turlap). Turlap ini bisa dibilang simulasi KKN. Kita ngelakuin FGD, kenalan sama masyarakat lokal di suatu desa, ya gitu-gitulah. Bedanya durasinya cuma 3 hari 2 malam paling lama, nggak sampai 40 hari. Nah, selama ini gue tuh turlapnya di Bogor mulu. Ya pernah sih ke Sukabumi. Tapi kan tetep aja Jabar lagi, sama warga Sunda lagi. Gue pengen aja gitu ngerasain suasana yang beda, nggak tinggal di lingkungan mayoritas suku Sunda lagi.

Lanjut. Meski nggak pengen di Jabar, jujur gue ada feeling yang agak kuat kalau pada akhirnya gue akan KKN di Bogor. Gue mencoba mengabaikan perasaan gue, tapi perasaan gue ternyata nggak bohong (kok alay). Perasaan gue ternyata sejalan dengan kenyataan. Yasudahlah, mungkin karena udah dapet feeling, gue mudah berlapang dada menerima kenyataan gue KKN di Bogor. Apalagi setelah itu gue mendapat momen-momen dan pelajaran berharga selama KKN. Nggak cuma lapang dada, tapi gue bersyukur banget.

Alhamdulillah. Banyak kemudahan yang gue dapet selama KKN. Mulai dari hal-hal esensial seperti sekelompok sama orang baik kayak Puspa, Dhony, Dinia, Rizza, dan Wulan yang tipikal less-conflict person (bikin istilah sendiri Ma), bisa dapet tuan rumah yang menganggap kami anak sendiri, aparat desa yang kooperatif dan 101% mensupport seluruh kegiatan KKN kami, sampai hal-hal sepele tapi ngaruhnya gede seperti tuan rumah yang punya mesin cuci sehingga menjamin ketersediaan pakaian bersih kami selama KKN. Serius, gue lebih rajin dan semangat nyuci baju di tempat KKN daripada di kosan gue sendiri (yaiyalah ngucek manually pake tangan -_-).

Screenshot_20180104-011742

Fullteam of #SKWGSQD

Eits, tapi bukan berarti selama KKN adem ayem aja ya. Banyak hal tak terduga yang mau nggak mau bikin gue harus banyak belajar dan beradaptasi juga. Yang paling tak terduga adalah gambaran lokasi KKN. Oiya, gue KKN di Kabupaten Bogor, tepatnya di Kecamatan Sukamakmur, Desa Sukawangi. Ekspektasi begitu tau kalau KKN di Bogor adalah:

“Hmm cuma Bogor sini-sini doang, tiap weekend cabut ke kota/kosan bisa kali ya. Lagian bisa bawa motor. Gampanglah.”

sedangkan realitanya adalah:

“Buset, ini beneran masih di Bogor? Masak udah 5 jam perjalanan naik angkot dari kampus belom nyampe-nyampe juga?”

Serius guys, jadi perjalanan dari kampus gue di Dramaga sampai ke desa lokasi KKN gue itu 6 jam waktu itu gue itung. Bersih nggak pake macet. Bogor – Bandung aja 4 jam men… Gila kan? Nggak juga sih, setelah gue cek di maps, sebenernya jadi lama karena kita ambil jalan memutar gitu lho. Bakal lebih deket lewat Puncak secara Desa Sukawangi itu desa terluar di Kab. Bogor yang berbatasan langsung sama Cipanas. Tapi kalo dipikir-pikir mungkin kalo lewat Puncak sama lamanya deng, lebih deket tapi lebih rawan macet. Yo podo wae.

Meski masih KKN dalam satu kota yang sama dengan kuliah gue sehari-hari, tapi rasanya sama sekali beda. Kalo lo pikir KKN di Bogor itu masih di “kota” (ya beberapa emang ada yang gitu sih) di Sukawangi mah nggak. Sukawangi bener-bener Desa terpencil, terisolasi, terjauh, yang sanggup munculin pikiran, “Kok ada sih orang yang iseng banget bikin rumah di sini.” di otak lo. Yang terparah emang kondisi jalannya sih. Berbatu. Bukan krikil pasir gitu ya, tapi batu kali. Literally. Dan naik turun, secara dia di dataran tinggi, perbukitan gitu. (Tapi alhamdulillah saat postingan ini dibuat lagi ada perbaikan jalan di Sukawangi, semoga lancar pembangunannya aamiin). 6 jam dari Dramaga dan 1,5 jam dari kantor kecamatan, seharusnya cukuplah untuk menggambarkan gimana nyentriknya lokasi Sukawangi. Akses ke indomaret terdekat 1,5 jam perjalanan mobil. Fantastic! Mungkin semisal lokasi KKN gue di luar Pulau Jawa, di suatu pulau di ujung sana, wajar kalo jauh dari atau nggak ada minimarket sama sekali (temen gue ada yang KKN di Sabang sana aja mengakui bahwa lokasi dia kayaknya lebih kota daripada lokasi gue). Tapi ini masih di Bogor men. Bogor itu sepelemparan batu sama Jakarta lho. Sama ibukota. Nyatanya, tetanggaan sama ibukota nggak menjamin kita buat bisa merasakan pembangunan yang merata. Pokoknya ya, mau di Jawa, mau di pulau lain juga, yang namanya daerah terluar, pasti cenderung ‘terlupakan’. Kalimat barusan aparat desa gue kalo nggak salah yang bilang. Meski begitu, Sukawangi nggak setertinggal itu kok. Tenang aja. Alhadulillah selama gue KKN listrik, air, sama sinyal aman semua. Dalam keterbatasan akses fasilitas pun, warga di sini masih bisa hidup sangat layak. Belum semua, tapi sebagian besar. Alhamdulillah.

Sebenernya ya, gue bingung gimana nyampein KKN Story ini lewat postingan karena…too much to tell. Nggak mungkin banget kan pengalaman selama 40 hari gue jadiin 1 post aja. Jadi sepertinya, bakal bersambung sampai sini dulu deh si part 1 ini. Di part 2 nanti gue bakal share tentang pelajaran berharga yang gue dapet selama KKN di antaranya tentang no more etnocentrism (mengagungkan kebudayaan suku kita sendiri), lebih bersyukur dan toleransi, bagaimana gue melihat sendiri bahwa setiap anak punya bakat yang beda-beda, dan jadi orang yang nggak mageran lagi. Semoga kalian penasaran ya!

 

See you on part 2!

 

2 comments

Tinggalkan komentar